CATATAN GURU EDAN

Kamis, 16 Februari 2012

Catatan Guru Edan#27: Berada di Bawah, (Bukan) Berarti Gampang Menyerah





Miris juga melihat salah satu sekolah di sudut kota besar yang memiliki fasilitas tak bisa disebut telah “memadai”. Tiap ruang kelasnya hanya dihiasi oleh Blackboard yang harus ditulis dengan menggunakan kapur, lapangannya pun beralaskan tanah lempung, bukan terbuat dari coneblock ataupun beton. Semua kekurangan tersebut ditambah lagi dengan ketiadaan fasilitas penunjang gurunya seperti multimedia projector, jangankan barang tersebut, OHP pun mungkin saja tidak dimiliki. Sekolah yang kita bicarakan ini bisa dikatakan sebagai suatu bukti bahwa kisah seperti dalam novel “Laskar Pelangi” benar-benar ada dan bukan hanya karangan imjinatif Andrea.
Namun seperti pepatah-pepatah orang-orang bijak terdahulu, “don’t jugde the book by the cover”, jangan karena fasilitas yang serba minim tadi, siswa dan guru yang berada di sekolah tersebut dianggap jauh dibawah standardisasi pendidika. Buktinya mereka sangat antusias untuk tetap bersekolah seperti siswa-siswa kebanyakan yang dari sedkolah lain. Aktivitas harian di sekolah tersebut pun tidak bisa dikatakan biasa-biasa saja, contohnya tiap pagi didahulukan dengan mengaji bersama, bersikap santun kepada orang atau pengajar yang baru dikenal atau dilihat, bahkan tetap semangat dan punya kemaua inggi walau harus pulang larut malam untuk mengikuti pelajaran praktek karena harus menumpang di sekolah lain (kelas prakteknya dipakai oleh sekolah yang bersangkutan pagi hingga sore hari).
Semua deskripsi di atas bergerak ke arah 180º ketika kita membicarakan sekolah-sekolah-sekolah yang masih dalam satu wilayah denga sekolah tadi tetapi sudahb bertitel RSBI (bukan singkatan dari Rumah Sakit bersalin Indonesia lhoo yaaaa :P ). Seperti yang kita ketahui bersama bahwa sekolah bertitel RSBI memiliki fasilitas yag serba waah an tak kekurangan satu apapun, mulai dari ruangan yang ber-AC, Multimedia Projector di setiap kelasnya, lantainya pun beralaskan keramik sampai dengan guru yang hampir semua sudah diakreditasi. Namun selalu ada kata tetapi lagi dari semua kondisi yang hampir mendekati kesempurnaan ini, yaitu objek pendidikannya alias siswanya belum sepenuhnya sesuai dengan harapan yang didamba-dambakan, masih banyak siswa bersekolah di RSBI tak tahu dimana letak Negara Turki dan Yunani apabila diberikan sebuah Peta (mungkin tambah bingung apabila ditanya letak selatan dan timur pada peta, hehehe), tak bisa menjumlahkan bilangan (-) dikali dengan bilangan (+) ataupun yang paling “parah”, membaca Surah Al Fatihah pun ada ayat yang terlewat, huuuffft.
Segala kekuarangan-kekuarangan tersebut memang bukan sepenuhnya salah dari guru yang mengajar di sekolah RSBI, tetapi mungkin saja disebabkan oleh faktor “X”, faktor “X” yang dimaksud disini adalah faktor yang hanya dimiliki oleh siswa yang sekolahnya memiliki banyak kekurangan yaitu semangat untuk belajar dan pantang menyerah dengan kondisi yang dimiliki. (salute to all students and teachers in SMKN 1 SoreangJ).

Rabu, 08 Februari 2012

Catatan Guru Edan #26: Diskriminasi yang (Masih) Terjadi




Jikalau kita ingin membeli suatu barang dimana pun dan kapan pun, pastilah kita akan mengecek fisik dan kualitas barang tersedbut. Apakah fisik kualitas barangnya (KW) I atau II bahkan III (naha jadi kayak forum jual beli, euy:P). setelah fisiknya sudah kita ketahui maka yang selanjutnya kita harus cek adalah harga barang tersebut, apakah layak dan sebanding dengan fisiknya, atau malah melenceng jauh dari gawang,eh salah dari perkiraan(dah kaya tendangan penalty yang gagal ajah, hehe). Yah tapi itulah metode lazimnya membeli sebuah barang di negeri yang kita tempati ini, penuh dengan prasyarat untuk memilih ketika mengeluarkan uang (secara kalo masalah uang mah, orang Indonesia getol dengan semboyan ini, friends are number one, families are the everything, but money are still money.wkwkwk). malah kalau bisa membeli sesuatu tuh harus yang kualitasnya numero uno tapi harganya gak neko-neko (maksudnya murah), hari gene nyari yang kayak gitu, dimana, bung?????.

Metode pilah-pilih seperti itu memang ada gunanya juga di zaman seperti sekarang yang serba sulit dan kita tidak pungkiri , kita pun secara sadar atau tidak sadar melakukannya. Namun bila hal tersebut diterapkan di dunia pendidikan hasil atau dampaknya pun akan beda dengan intro di atas, bisa jadi mungkin cendering negatif. Yang dimaksud pilah-pilih (baca: diskriminasi) dalam dunia pendidikan adalah ketika seorang guru atau pengajar membedakan perlakuan dan layanan oleh dirinya kepada siswa. Contoh ketika misalkan si A diberi pelayanan yang ekstra oleh seorang guru melebihi dari siswa lainya entah karena siswa yang dimaksud itu ganteng/cantik ataupun pintar, lalu sang siswa pun mendapatkan bimbingan di luar kelas secara terus-menerus, dibantu untuk mengerjakan PR, tugas dan ulangan, serta kalau gak dapat angkot lalu sang guru mengantar pulang ke rumah siswa (ini guru apa tukang ojek:P).

Hal-hal tersebut bakal mejadi batu sandungan seorang guru atau pengajar untuk nantinya menjadi guru yang digugu dan ditiru (diteladani) oleh siswa, kenapa karena ketika kita sebagai seorang pengajar melakukan hal tersebut, maka yang paling gampang didapat adalah kita di mata siswa-siswa yang lain sudah dilabeli sebagai guru yang tidak professional karena hanya melayani dan memberikan pengajaran kepada yang itu-itu saja.bukan maksud untuk menjadi seseorang yang naïf  cuma ketika kita misalkan telah terlanjur melakukan hal tersebut ada baiknya kita menginstropeksi diri kita sendiri (penulis juga termasuk di dalamnya). Supaya hal diskriminasi tersebut tidak terjadi maka kita harus lihat beberapa poin cir-ciri menjadi yang guru professional menurut Davis Thomas (1997) yaitu:
  1. Memiliki hubungan baik dengan siswa
  2. Mampu menerima, mengakui dan memperhatikan siswa secara tulus.
Dua poin inilah yang menjadi pegangan kita untuk tidak melakukan diskriminasi kepada siswa, apabila hal tersebut diabaikan maka siap-siaplah menjadi guru berlabel “pilah-pilih” (Nauzubillahi minzalik).

Rabu, 01 Februari 2012

CATATAN GURU EDAN #25: KEEP SMILE, PLEASE……





Kalo di Islam, Ibadah yang paling gampang dilakukan adalah senyum apabila bertemu dengan orang lain. Jika bertemu di jalan dengan teman di jalan kita senyum, di angkot juga kalo bertemu dengan orang yang kita belum kenal juga senyum, pokona mah senyum wae, asal jangan 24 jam senyum terus-terusan, nanti disangka baru sembuh lagi dari Grogol :P.

Mengapa senyum itu penting dan membuat awet muda, karena dengan tersenyum kita hanya membutuhkan kurang lebih sekitar 100 otot diwajah tampan atau cantik yang kita punya(pasti yang baca ke-geer-an neah, hehehe), namun lain halnya kalo kita sedang marah, otomatis wajah kita pun jadi cemberut bin cembetut kan, maka otot di wajah pun lebih banyak dua kali lipatnya yang dipergunakan sehingga katanya sich kita bisa cepat tua neah.

By the way Senyum juga menjadi cara yang sangat efektif untuk mencairkan suasana di ruang kelas, contohnya ketika guru datang memasuki ruang kelas diharuskan yang pertama dilakukan adalah meampilkan wajah yang ceria disertai senyuman kepada siswa-siswanya agar siswa selalu merasa bahwa kita adalah orang yang ingin mendidik dan mengajarnya bukan disangka algojo yang ingin memenggal kepala terdakwa yang ingin dihukum mati (kebayangkan kalo guru tiap masuk kelas wajahnya cemberut teu pararuguh jadi hampir sama tuh ma algojo:P)

Tetapi senyum juga bisa menjadi sebuah hal yang memiliki sisi ambiguitas apabila ada siswa yang menganggap bahwa senyum yang kita berikan itu dimaknai sebagai cari muka atau istilah kerennya mah tebar pesona. Ini kondisi yang parah padahal mah kita lakukan senyum untuk mengakrabkan diri antara guru dengan siswa tapi di lapangan mah banyak siswa yang menganggap negatip seperti itu. Contoh kaskus (cendol, gan), eh kasus maksudnya ada siswa lelaki yang suka sama siswi perempuan yang penulis ajar, layaknya seorang guru kita harus selalu menyapa dengan senyuman kepada setiap murid, namun sikap tersebut malah ditanggapi lain oleh siswa laki-laki tersebut, dianggapnya bapak guru tebar pesona terus lah, cari muka lah (mangnya muka saya kemana ya dicari….kayaknya sejak lahir terus dibawa dech, hehe). But we don’t have to blame, itulah realita sosial yang ada, apa yang kita anggap baik belum tentu orang lain menganggapnya sama seperti yang kita pikirkan. No matter what it takes, keep smile, guys………